Sabtu, 27 November 2010

Tokoh-tokoh Sosiologi dan Antropologi di Dunia


Masih banyak orang yang sulit membedakan antara sosiologi dan antropologi. Hal ini terjadi karena kedua ilmu tersebut sama-sama mempelajari masyarakat dan seringkali pembahasannya dicampuradukkan.[1] Pada dasarnya sosiologi adalah ilmu yang mempelajari struktur sosial dan proses sosial dalam menjelaskan perilaku manusia. Sedangkan antropologi adalah ilmu yang mempelajari hasil karya, cipta, dan rasa manusia, yang didasarkan pada karsa dan ciri-ciri fisik manusia.
Seseorang yang mempelajari lebih dalam ilmu sosiologi biasanya disebut dengan sosiolog. Sedang seseorang yang mempelajari secara mendalam ilmu antropologi biasanya disebut dengan antropolog. Untuk dapat membedakan dan mempelajari kedua bidang tersebut, kita terlebih dahulu mempelajari para Sosiolog dan Antropolog yang berpengaruh agar kita dapat mengetahui teori-teori dari masing-masing tokoh sehingga memudahkan kita untuk mempelajari dan memahami ilmu sosiologi dan antropologi.

1. PEMIKIR ISLAM
Pemikir Islam tentang Sosiologi dan Antropologi Islam yang masyhur banyak sekali. Sosiolog Islam diantaranya adalah: Abu Dzar Al- Ghifari, Ibnu Kholdun, Selo Soemardjan, dan Hassan Hanafi. Sedangkan Antropolog Islam diantaranya adalah Koentjaraningrat dan Parsudi Suparlan.
a.    Sosiolog Islam
1)   Abu Dzar Al-Ghifari
Abu Dzar berasal dari Suku Ghiffar yang tinggal di daerah yang dilalui oleh kafilah-kafilah dagang. Sebelum masuk Islam dia adalah pemuka kelompok Ghifari. Dia seorang penganut ideologi yang bersedia untuk mati demi tegaknya kebenaran. Baginya kebenaran adalah mengatakan sesuatu yang hak dengan terus terang dan menentang yang batil. Dia adalah tokoh pembela kaum mustad’afin atau kaum yang tertindas, seorang Muslim yang komited, tegar, revolusioner, yang menyampaikan pesan persamaan, persaudaraan, keadilan, dan pembebasan. Dia melakukan demonstrasi-demonstrasi dan tunjuk perasaan menentang kedzaliman penguasa. Dia menyampaikan kontrol sosial, meminta kepada orang yang berkuasa untuk berlaku adil terhadap rakyat miskin yang telah kehilangan hak-haknya. Dia juga mendorong masyarakat untuk merebut hak mereka dan memberantas kemiskinan yang mendekatkan diri kepada kekufuran. [2]
2)   Ibnu Khaldun (1332-1406) 
Sejarawan dan Bapak Sosiologi Islam ini berasal dari Tunisia. Ia keturunan dari Yaman dengan nama lengkapnya Waliuddin Abdurrahman bin Muhammad bin Abi Bakar Muhammad bin Al Hasan. Namun, ia lebih dikenal dengan nama Ibnu Khaldun. Nama popular ini berasal dari nama keluarga besarnya, Bani Khaldun.
Ia lahir di Tunisia pada tanggal 27 Mei 1332. di tanah kelahirannya itu, ia mempelajari berbagai macam ilmu, seperti Syariat (Tafsir, Hadist, Tauhid, Fikih), Fisika dan Matematika. Sejak kecil, ia sudah hafal Al Quran. Saat itu, Tunisia menjadi pusat perkembangan ilmu di Afrika Utara.
Karya-karya besar yang lahir ditangannya, yaitu sebuah kitab yang sering disebut Al ‘Ilbar (Sejarah Umum), terbitan Kairo tahun 1284. Kitab ini terdiri atas 7 jilid berisi kajian Sejarah, yang didahului oleh Muqaddimah (jilid 1), yang berisi tentang pembahasan masalah-masalah sosial manusia.
Muqaddimah (yang sebenarnya merupakan pembuka kitab tersebut) popularitasnya melebihi kitab itu sendiri. Muqaddimah membuka jalan menuju perubahan ilmu-ilmu sosial. Menurut pendapatnya, politik tak bisa dipisahkan dari kebudayaan dan masyarakat dibedakan atas masyarakat kota dan desa. Dalam Muqaddimah ini pula Ibnu Khaldun menampakkan diri sebagai ahli Sosiologi dan Sejarah. Teori pokoknya dalam Sosiologi Umum dan Politik adalah konsep ashabiyah (solidaritas sosial). Asal-usul solidaritas ini adalah ikatan darah yang disertai kedekatan hidup bersama. Hidup bersama juga dapat mewujudkan solidaritas yang sama kuat dengan ikatan darah. Menurutnya, solidaritas sosial itu sangat kuat terlihat pada masyarakat pengembara, karena corak kehidupan mereka yang unik dan kebutuhan mereka untuk saling Bantu. Relevansi teori ini misalnya dapat ditemukan pada teori-teori tentang konsiliasi kelompok-kelompok sosial dalam menyelesaikan konflik tantangan tertentu. Relevansi teori Khaldun, misalnya juga dapat ditemukan dalam teori Ernest Renan tentang kelahiran bangsa. Tantangan yang dihadapi masyarakat pengembara dalam teori Khaldun tampaknya, meski tidak semua, pararel dengan “kesamaan sejarah” embrio bangsa dalam teori Ernest Renan. Kebutuhan untuk saling Bantu mengatasi tantangan ini juga memiliki relevansi dalam kajian-kajian psikologi sosial terutama berkenaan dengan kebutuhan untuk mengikatkan diri dengan orang lain atau kelompok sosial yang lazim disebut afiliasi.[3]
Karya Ibnu Kholdul yang lain adalah Kitab al-‘Ibar, wa Diwan al-Mubtada’ wa al-Khabar, fi Ayyam al-‘Arab wa al-‘Ajam wa al-Barbar, wa man Asharuhum min dzawi as-Sulthani al-‘Akbar. (Kitab Pelajaran dan Arsip Sejarah Zaman Permulaan dan Zaman Akhir yang mencakup Peristiwa Politik Mengenai Orang-orang Arab, Non-Arab, dan Barbar, serta Raja-raja Besar yang Semasa dengan Mereka), yang kemudian terkenal dengan kitab ‘Ibar, yang terdiri dari tiga buku: Buku pertama, adalah sebagai kitab Muqaddimah, atau jilid pertama yang berisi tentang: Masyarakat dan ciri-cirinya yang hakiki, yaitu pemerintahan, kekuasaan, pencaharian, penghidupan, keahlian-keahlian dan ilmu pengetahuan dengan segala sebab dan alasan-alasannya. Buku kedua terdiri dari empat jilid, yaitu jilid  kedua, ketiga, keempat, dan kelima, yang menguraikan tentang sejarah bangsa Arab, generasi-generasi mereka serta dinasti-dinasti mereka. Di samping itu juga mengandung ulasan tentang bangsa-bangsa terkenal dan negara yang sezaman dengan mereka, seperti bangsa Syiria, Persia, Yahudi (Israel), Yunani, Romawi, Turki dan Franka (orang-orang Eropa). Kemudian Buku Ketiga terdiri dari dua jilid yaitu jilid keenam dan ketujuh, yang berisi tentang sejarah bahasa Barbar dan Zanata yang merupakan bagian dari mereka, khususnya kerajaan dan negara-negara Maghribi (Afrika Utara).[4]
3)   Selo Soemarjan (1915 – 2003)
Prof. Dr. Kanjeng Pangeran merupakan seorang sosiolog yang mantan camat, kelahiran Yogyakarta 23 Mei 1915. Penerima Bintang Mahaputra Utama dari pemerintah ini adalah pendiri sekaligus dekan pertama Fakultas Ilmu Pengetahuan Kemasyarakatan (kini FISIP-UI) dan dosen sosiologi di Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Beliau dikenal sebagai Bapak Sosiologi Indonesia setelah tahun 1959, seusai meraih gelar doktornya di Cornell University, Amerika Serikat. Pada tanggal 30 Agustus 1994, beliau menerima gelar Ilmuwan Utama Sosiologi.[5] Menurut beliau, sosiologi merupakan ilmu yang mempelajari struktur sosial. Struktur sosial adalah keseluruhan jaringan antara unsure sosial yang pokok, yaitu kaidah-kaidah sosial (norma-norma sosial), lembaga-lembaga sosial, kelompok-kelompok, serta lapisan-lapisan sosial.[6] Karya-karya Beliau yang telah diterbitkan diantaranya adalah Social Changes in Yogyakarta (1962) dan Gerakan 10 Mei di Sukabumi (1963).  
4)   Hassan Hanafi (1935 - …)
Hanafi dilahirkan pada tanggal 13 Februari 1935 di Kairo, berasal dari keluarga musisi. Pendidikannya diawali pada tahun 1948, tamat pendidikan tingkat dasar dan Madrasah Stanawiyah “Khalil Agha” Kairo dalam waktu empat tahun. Semasa itu, telah mengikuti berbagai diskusi pemikiran Ikhwan Al Muslimin dan tertarik pada pemikiran Sayyid Qutb tentang keadilan sosial dan Islam. Sejak itu, ia berkonsentrasi kepada pemikiran agama, revolusi, dan perubahan sosial.
Hasan Hanafi seorang pemikir keislaman yang sudah tidak asing lagi, didunia Arab khususnya yang sangat produktif. Ia menguasai tiga bahasa: Arab, Inggris, dan Prancis. Diantara karya-karya fundamentalnya adalah: Min Al-‘Aqidah Ila Al-Tsaurah (1988), Religious Dialogue Revolution: Essays Judaisn, Christianity and Islam (1977), dan La Phenomenologie de I’Exegese, Essei d’une hermeneutique Existentielle a partir du nouveau Testamenet (1966). Selain itu, Hanafi juga banyak menulis artikel di beberapa jurnal ilmiah berbahasa Arab, disamping mentahqiq teks-teks klasik Arab dan menterjemahkan beberapa buku tentang bahasa dan filsafat ke dalam Bahasa Arab.
Pemikiran Hanafi meliputi tiga model. Model pertama, adalah peranan Hanafi sebagai seorang Pemikir Revolutioner. Dia menganjurkan untuk memunculkan Al-Yassar Al Islami untuk mencapai Revolusi Tauhid. Model kedua, adalah sebagai Pembaharu Tradisi Pemikiran Klasik. Sebagai seorang reformis tradisi Islam, Hanafi adalah seorang rasionalis. Model ketiga, adalah sebagai Penerus Gerakan Al-Afghani (1838-1897). Al-Afghani adalah pendiri gerakan Islam modern yang disebut sebagai perjuangan melawan imperialisme Barat dan penyatuan dunia Islam. Hanafi pun melalui Al-Yassar Al-Islami, juga menyebutkan hal yang sama.[7]
b.      Antropolog Islam
1)   Koentjaraningrat
Koentjaraningrat lahir di Yogyakarta tahun 1923. Beliau lulus Sarjana Sastra Bahasa Indonesia Universitas Indonesia pada tahun 1952. mendapat gelar MA dalam antropologi dari Yale University (Amerika Serikat) tahun 1956, dan gelar Doktor Antropologi dari Universitas Indonesia pada tahun 1958. Sebelum menjalani pensiun tahun 1988, ia menjadi gurubesar Antropologi pada Universitas Indonesia. Beliau pernah pula menjadi gurubesar luar biasa pada Universitas Gajah Mada, Akademi Hukum Militer, Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian, dan pernah diundang sebagai gurubesar tamu di Universitas Utrecht (Belanda), Universitas Columbia, Universitas Illinors, Universitas Ohio, Universitas Wisconsin, Universitas Malaya, Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales di Paris, dan Center for South East Asian Studies, Universitas Kyoto. Penghargaan ilmiah yang diterimanya adalah gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Utrecht (1976) dan Fukuoka Asian Cultural Price (1995).
Menurut beliau, dalam menentukan dasar-dasar dari antropologi Indonesia, kita belum terikat oleh suatu tradisi sehingga kita masih dapat memilih serta mengkombinasikan berbagai unsur dari aliran yang paling sesuai yang telah berkembang di negara-negara lain, dan diselaraskan dengan masalah kemasyarakatan di Indonesia.[8] Karya-karyanya yang telah diterbitkan antara lain Atlas Etnografi Sedunia, Pengantar Antropologi, dan Keseragaman dan Aneka Warna Masyarakat Irian Barat.
2)   Parsudi Suparlan
Prof. Parsudi Suparlan adalah seorang Antropolog Nasional, ilmuwan sejati, yang berjasa menjadikan Antropologi di Indonesia memiliki sosok dan corak yang tegas sebagai disiplin ilmiah, yang tak lain adalah karena pentingnya penguasaan teori. Beliau lulus Sarjana Antropologi dari Universitas Indonesia tahun 1964. Kemudian menempuh jenjang MA lulus pada tahun 1972 dan PhD lulus tahun 1976 di Amerika Serikat. Beliau mencapai gelar Guru Besar Antropologi Universitas Indonesia tahun 1998. Menurut beliau, antropologi merupakan disiplin ilmu yang kuat, karena pentingnya teori, ketajaman analisis, ketepatan metodologi, dan tidak hanya sekedar mengurai-uraikan data. Selain itu, juga pentingnya pemahaman yang kuat mangenai konsep kebudayaan dan struktur sosial.[9]

2. PEMIKIR BARAT
Sosiolog dan Antropolog Barat yang cukup berpengaruh, dalam mengembangkan ilmu Sosiologi dan Antropologi juga sangat banyak. Sosiolog Barat diantaranya adalah Auguste Comte, Pierre Guillaurne Frederic Le Play, Karx Mark, Herbert Spencer, Ferdinand Tonnies, Emile Durkheim, Max Weber, dan Charles Horton Cooley. Sedangkan Antropolog Barat diantaranya adalah Clifford Geertz dan James Danandjaja.
a.       Sosiolog Barat
1)   Auguste Comte (1798 – 1857)
Tokoh yang kemudian dikenal sebagai bapak pendiri aliran positivisme dalam ilmu-ilmu sosial ini lahir pada tanggal 19 Januari 1798 di Montpellir, Prancis. Auguste Comte dikenal sebagai The Father of Sociology karena sumbangannya dalam memperkenalkan istilah sosiologi dalam bukunya yang berjudul Cours de Philosophy Positive. Beliau berpendapat bahwa sejarah manusia adalah mengikuti satu susunan yang mematuhi hukum tertentu. Evolusi masyarakat akan disertai dengan kemajuan yang mewujudkan perkembangan intelektual. Comte dikenal karena telah memperkenalkan hokum Law of Human Progress.
Dalam bukunya yang berjudul Cours de Philosophy Positive yang terdiri atas enam jilid, ia mengemukakan pendapatnya tentang perkembangan pikiran manusia yang terdiri atas tiga tahap. Pertama tahap teologis, yaitu pengetahuan manusia didasarkan pada kepercayaan akan adanya penguasa adikodrati yang mengatur dan menggerakkan gejala-gejala alam. Kedua tahap metafisis, yaitu pengetahuan manusia berdasar pada konsep-konsep dan prinsip-prinsip abstrak yang menggantikan kedudukan kuasa-kuasa adikodrati. Metafisika merupakan pengetahuan puncak masa ini. Ketiga tahap positif, yaitu pengetahuan manusia berdasar atas fakta-fakta. Berdasar observasi dan dengan menggunakan rasionya, manusia pada tahap positif ini dapat menentukan relasi-relasi persamaan dan atau urutan yang terdapat pada fakta-fakta. Pengetahuan positif adalah pengetahuan yang tertinggi kebenarannya yang dicapai oleh manusia.[10]
2)   Pierre Guillaurne Frederic Le Play (1806 – 1882)
Le Play, seorang Perancis, adalah salah seorang ahli ilmu pengetahuan kemasyarakatan  terkemuka abad ke-19. Dia berhasil mengenalkan suatu metode tertentu di dalam meneliti dan menganalis gejala-gejala sosial yaitu dengan jalan mengadakan observasi terhadap fakta-fakta sosial dan analisis induktif. Kemudian dia juga menggunakan metode case study dalam penelitian-penelitian sosial.
Penelitian-penelitiannya terhadap masyarakat menghasilkan dalil bahwa lingkungan geografis menentukan jenis pekerjaan, dan hal ini mempengaruhi organisasi ekonomi, keluarga serta lembaga-lembaga lainnya. Keluarga merupakan objek utama dalam penyelidikan. Dia berkeyakinan bahwa anggaran belanja suatu keluarga merupakan ukuran kuantitatif bagi kehidupan keluarga sekaligus menunjukkan kepentingan keluarga tersebut. Akhirnya dikatakan bahwa organisasi sosial keluarga sepenuhnya terikat pada anggaran keluarga tersebut. Karya-karyanya yang telah diterbitkan antara lain European Workers (1855), Social Reform in France (1864), The Organization of the Family (1871), dan The Organization of Labor (1872).[11]
3)   Karx Mark (1818 – 1883)
Karl Mark lahir di Trier, Jerman pada tahun 1818 di keluarga Yahudi. Mark lebih dikenal sebagai seorang tokoh sejarah ekonomi, ahli filsafat, dan aktivis yang mengembangkan teori sosialisme marxisme, daripada sebagai seorang perintis sosiologi. Meskipun demikian, sebenarnya Mark merupakan seorang tokoh sosiologi yang memberi sumbangan tentang stratifikasi sosial dan konflik. Pemikiran Mark pun diarahkan pada perubahan sosial besar yang melanda Eropa Barat sebagai dampak perkembangan pembagian kerja, khususnya yang terkait dengan kapitalisme. Menurut Mark perkembangan pembagian kerja dalam kapitalisme menumbuhkan dua kelas yang berbeda, yaitu kelas yang terdiri atas orang yang menguasai alt produksi (kaum bourgeoisie) dan kelas yang terdiri atas orang yang tidak memiliki alat produksi (kaum proletar).[12]
4)   Herbert Spencer (1820 – 1903)
Herbert Spencer lahir di Inggris pada tahun 1820. selain bidang matematika dan pengetahuan alam yang ia tekuni, ia juga tertarik menekuni bidang ilmu sosial. Ia mengemukakan sebuah teori tentang evolusi masyarakat dan membaginya menjadi tiga sistem, yaitu sistem penahan, pengatur, dan pembagi. Sistem penahan berfungsi untuk memberikan kecukupan bagi kelangsungan hidup masyarakat. Sistem pengatur berperan memelihara hubungan antar sesama anggota masyarakat dan dengan masyarakat lain. Sistem pembagi dapat dilihat wujudnya dalam proses evolusi yang semakin maju. Ia memandang ketiga sistem itu dapat memainkan peranan yang sangat penting dalam proses pembangunan sebuah negara. Paham evolusi dari Spencer meyakini bahwa masyarakat akan berubah dari masyarakat yang homogen dan simpel, kepada masyarakat yang heterogen dan kompleks, selaras dengan kemajuan masyarakat. Spencer melihat bahwa masyarakat bukan sebagai satu kelompok individu tetapi sebagai satu organisme yang hidup dan mempunyai berbagai keinginan. Hasil karya Herbert Spencer antara lain Social Statics (1850), The Study of Sociology (1873), dan Descriptive Sociology (1874).[13] 
5)   Ferdinand Tonnies (1855 – 1936)
Tonnies dilahirkan di Frisia, Oldenswart, Jerman. Dia adalah anak dari suatu keluarga petani kaya. Dia menganjurkan sosiologi untuk mengarah ke positivistik dengan penggunaan data statistik. Sumbangannya kepada sosiologi adalah tentang pengelompokan dalam masyarakat, dimana terdapat dua kelompok dalam masyarakat, yaitu:
a)    Gemeinschaft yang digambarkan dengan kehidupan bersama yang intim, pribadi, dan ekslusif. Bersifat organik dan tradisional. Suatu keterikatan yang dibawa sejak lahir, yang terbagi atas:
(1)     Gameinschaft by Blood, yang mengacu pada ikatan-ikatan kekerabatan.
(2)     Gameinschaft by Place, yang mengacu pada kedekatan letak tempat tinggal.
(3)     Gameinschaft by Mind, yang mengacu pada kebersamaan di masyarakat masing-masing, namun masih tetap mandiri.
b)   Gesellschaft adalah kehidupan publik dalam kebersamaan di masyarakat namun masing-masing tetap mandiri. Gesellschaft lebih bersifat struktur mekanik modern.[14]
6)   Emile Durkheim (1858 – 1917)
Durkheim yang memiliki nama lengkap David Emile Durkheim, dilahirkan pada tanggal 15 April 1858 di Epinal ibu kota bagian Vorges, Lorraine Prancis bagian timur. Durkheim dikenal dengan teori solidaritas atau konsensus sosialnya. Teorinya ini tidak terlepas dari berbagai peristiwa dan skandal yang ia saksikan di Prancis.
Teori Durkheim yang lain adalah gagasannya mengenai kesadaran kolektif (conscience collective) dan gambaran kolektif (representation collective). Gambaran kolektif adalah simbol-simbol yang memiliki makna yang sama bagi semua anggota sebuah kelompok dan memungkinkan mereka untuk merasa satu sama lain sebagai anggota-anggota kelompok. Gambaran kolektif adalah bagian dari isi kesadaran kolektif. Kesadaran kolektif mengandung semua gagasan yang dimiliki bersama oleh para anggota masyarakat dan menjadi tujuan atau maksud kolektif.  Karya Durkheim dapat disebutkan antara lain, De la Division du Travail Social: Etude des Societes Superieur (1893), Le Suicide: Etude de Sociologique (1877) yang mengupas soal bunuh diri dalam tinjauan sosiologi serta sebuah karya mengenai sosiologi agama berjudul Les Formes Elementaires de la vie Religique en Australie (1912).[15]
7)   Max Weber (1864 – 1920)
Max Weber seorang sosiolog, ahli ekonomi, sekaligus ahli ilmu politik dari Jerman. Ia menghabiskan waktunya untuk mengajar di beberapa tempat, antara lain di Berlin, Freiburg, Munich, dan Heidelberg. Salah satu minat besar Weber adalah keinginannya untuk mengembangkan metodologi bagi ilmu-ilmu sosial. Karya-karyanya sangat memberikan pengaruh terhadap para ahli ilmu sosial abad dua puluh. Dalam analisis sosiologis ia mengajukan apa yang disebutnya sebagai “idea types”, yakni model umum dari situasi sejarah yang dapat dipakai sebagai dasar pembandingan antarmasyarakat. Ia melawan para penganut Marx ortodoks saat itu yang mengatakan bahwa ekonomi merupakan faktor yang penting dan sangat menentukan dalam kehidupan sosial.
Weber menekankan peran nilai-nilai religius, ideologi, dan pemimpin kharismatik dalam memelihara kondisi masyarakat. Dalam karyanya, Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism (1920) ia mengembangkan suatu tesis mengenai keterkaitan yang erat antara gagasan asketis sebagaimana dikembangkan dalam Calvinisme dan kemunculan lembaga-lembaga kapitalis. Ia merupakan tokoh yang cukup berpengaruh dalam penggunaan statistik sosiologi dalam studi kebijakan ekonomi. Diantara karyanya yang lain adalah Wirtschaft und Gesellschaft (Ekonomi dan Masyarakat) serta General Economic History.[16]
8)   Charles Horton Cooley (1864 – 1929)
C. H. Cooley lahir di Michigan, Amerika Serikat. Pada mulanya, dia belajar teknik mesin elektro, kemudian dia juga belajar ekonomi. Setelah lulus akademis dia bekerja di pemerintahan seperti di Departemen Komisi Pengawas, kemudian juga di Kantor Sensus. Pada tahun 1892, dia menjadi dosen ilmu ekonomi, politik, serta sosiologi di Universitas Michigan. Cooley tergolong dalam sosiolog interaksionisme simbolik klasik. Sumbangannya kepada sosiologi tentang sosiologi dan interaksi. Menurutnya, diri (self) seseorang berkembang melalui interaksi dengan orang lain lewat analogi diri yang melihat cermin (looking glass self), yaitu diri seseorang memantulkan apa yang dirasakannya sebagai tanggapan masyarakat terhadapnya. Cooley juga memperkenalkan konsep primary group, yaitu kelompok yang ditandai oleh pergaulan dan kerja sama, serta tatap muka yang intim.[17]
Cooley dalam mengemukakan teorinya terpengaruh oleh aliran romatik yang mengidamkan kehidupan bersama, rukun, dan damai, sebagaiman dijumpai pada masyarakat-masyarakat yang masih bersahaja. Dia prihatin melihat masyarakat-masyarakat modern yang telah goyah norma-normanya, sehingga masyarakat-masyarakat bersahaja merupakan bentuk ideal yang terlalu berlebih-lebihan kesempurnaannya. Hasil karyanya antara lain uman Nature and Social Order (1902), Social Organization (1909), dan Social Process (1918).[18]
b.      Antropol Barat
1)   Clifford Geertz (1926 – 2006)
Profesor Clifford Geertz adalah seorang tokoh antropologi asal Amerika Serikat. Beliau dijuluki sebagi Tokoh Antropologi Segala Musim. Hal ini dikarenakan pemikirannya yang selalu mengikuti zaman. Karyanya yang berjudul The Religion of Java adalah suatu karya yang berciri kuat structural-fungsionalisme klasik. Geertz juga diakui sebagai salah satu pembuka jalan bagi pemikiran postmodernisme dalam ilmu-ilmu sosial. Hampir dalam setiap karya dan perbincangan teori antropologi di dunia mengutip karya-karyanya, sekalipun perbincangan tersebut mengkritik/kontra dengan pemikirannya. Salah satu pemikirannya yang mengandung relevasi dan merefleksikan kondisi masyarakat dan kebudayaan kota masa kini adalah tesis tentang involusi pertanian yang dapat dilacak dalam buku Agricultural Involution, The Process of Ecological Change in Indonesia (1963).[19]
2)   James Danandjaja (1934 - …)
James Danandjaja dilahirkan di Jakarta 13 April 1934. Beliau adalah tokoh Folklor Nusantara yang pertama. Bagian budaya yang bernama folklor itu berupa bahasa rakyat, ungkapan tradisional, teka-teki, legenda, dongeng, lelucon, nyanyian rakyat, seni rupa, dan lain sebagainya. Ilmu tentang folklor ia perkenalkan kepada mahasiswa jurusan Antropologi FISIP Universitas Indonesia sejak tahun 1972. pada mata kuliah tersebut, para mahasiswa antara lain ditugasinya mengumpulkan berbagai folklor di tanah air. Hasil pengumpulan itulah, antara lain yang ia gunakan untuk bukunya. Ia mendapatkan Master dari Universitas Berkeley tahun 1971 dengan karya tulis yang kemudian diterbitkan sebagai buku, An Annotated Bibliography of Javanese Folklore. Gelar Doktor dalam bidang Antropologi Psikologi ia peroleh dari Universitas Indonesia tahun 1977, dengan disertasi Kebudayaan Petani Desa Trunyan di Bali. Buku lain karya Jimmi adalah Pantomim Suci Betara Beratak dari Trunyan, Bali dan Upacara Lingkaran Hidup di Trunyan, Bali, serta Folklor Indonesia.[20]




[1]  Niniek Sri Wahyuni dan Yusniati.  Manusia dan Masyarakat.  Jakarta: Ganeca Exact. 2004. hlm. 2.
[2]  Abu Dzar Al Ghifari Jr. Abu Dzar: Legenda Ulung Penentang Kezaliman, (Online), (http://putraaceh.multiply.com, diakses 20 April 2008).
[3]  Arif Rohman. Sosiologi. Klaten: PT Intan Pariwara. 2003. hlm. 109-110.
[4] Ibnu Khaldun dan Pemikirannya, (Online), (http://uin-suka.info, diakses 3 Mei 2008).
[5]  Prof Dr KPH Selo Soemardjan, (Online), (http://www.solusihukum.com, diakses 20 April 2008).
[6]  Niniek Sri Wahyuni dan Yusniati.  Manusia dan Masyarakat.  Jakarta: Ganeca Exact. 2004. hlm. 5.
[7]  Zulfi Mubarak. Sosiologi Agama: Tafsir Sosial Fenomena Multi-Religius Kontemporer. Malang: UIN Malang Press. 2006. hlm. 241-244.
[8]  Koentjaraningrat. Pengantar Antropologi I, cet. III. Jakarta: PT Rineka Cipta. 2005. hlm. 6-7.
[9]  Achmad Fedyani Saifuddin. 2007. Orbituari: Pendekar itu Telah Pergi, (Online), (http://cabiklunik.blogspot.com, diakses 20 April 2008).
[10]                Arif Rohman. Sosiologi. Klaten: PT Intan Pariwara. 2003. hlm. 72.
[11]                Soerjono Soekanto.  Sosiologi Suatu Pengantar.  Jakarta:  PT RajaGrafindo Persada.  2005.  hlm. 401-402.
[12]                Kamanto Sunarto. Pengantar Sosiologi. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. 2004. hlm. 4.
[13]                Arif Rohman. Sosiologi. Klaten: PT Intan Pariwara. 2003. hlm. 110.
[14]                Priyo Sudarmanto. (Online), (http://yoyoksiemo.blogspot.com, diakses 20 April 2008).
[15]                Arif Rohman. Sosiologi. Klaten: PT Intan Pariwara. 2003. hlm. 43.
[16]                Ibid, hlm. 44
[17]                Priyo Sudarmanto. (Online), (http://yoyoksiemo.blogspot.com, diakses 20 April 2008).
[18]                Soerjono Soekanto.  Sosiologi Suatu Pengantar.  Jakarta:  PT RajaGrafindo Persada.  2005.  hlm. 401.
[19]                Kompas. 2006. Refleksi Pemikiran Geertz: Involusi Pertanian, Involusi Kita, (Online), (http://indobic.or.id, diakses 20 April 2008).
[20]                James Danandjaja, (Online), (http://www.ghabo.com, diakses 3 Mei 2008).

Ontologi dalam Filsafat Ilmu


1.    PENGERTIAN ONTOLOGI
Sebagai sebuah disiplin ilmu, filsafat tentu juga akan mengalami dinamika dan perkembangan sesuai dengan dinamika dan perkembangan ilmu-ilmu yang lain, yang biasanya mengalami percabangan. Filsafat sebagi suatu disiplin ilmu telah melahirkan tiga cabang kajian. Ketiga cabang kajian itu ialah teori hakikat (ontologi), teori pengetahuan (epistimologi), dan teori nilai (aksiologi).[1]
Pembahasan tentang ontologi sebagi dasar ilmu berusaha untuk menjawab "apa" yang menurut Aristoteles merupakan The First Philosophy dan merupakan ilmu mengenai esensi benda. Kata ontologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu On=being, dan Logos=logic. Jadi, ontologi adalah The Theory of Being Qua Being (teori tentang keberadaan sebagai keberadaan).[2]
Ontologi membahas tentang yang ada, yang tidak terikat oleh satu perwujudan tertentu. Membahas tentang yang ada, yang universal, dan menampilkan pemikiran semesta universal. Berupaya mencari inti yang temuat dalam setiap kenyataan, dan menjelaskan yang ada yang meliputi semua realitas dalam semua bentuknya.[3] Sedangkan Jujun S. Suriasamantri mengatakan bahwa ontologi membahas apa yang ingin kita ketahui, seberapa jauh kita ingin tahu, atau dengan perkataan lain suatu pengkajian mengenai yang "ada".[4]
Menurut Sidi Gazalba, ontologi mempersoalkan sifat dan keadaan terakhir dari kenyataan. Karena itu, disebut ilmu hakikat yang bergantung pada pengetahuan. Dalam agama, ontologi mempersoalkan tentang Tuhan.[5] Amsal Bakhtiar dalam bukunya Filsafat Agama I mengatakan ontologi berasal dari kata Ontos=sesuatu yang berwujud. Ontologi adalah teori/ilmu tentang wujud, tentang hakikat yang ada. Ontologi tak banyak berdasar pada alam nyata, tetapi berdasar pada logika semata-mata.[6]
Jadi dapat disimpulkan bahwa:
·         Menurut bahasa, ontologi berasal dari Bahasa Yunani, yaitu On/Ontos=ada, dan Logos=ilmu. Jadi, ontologi adalah ilmu tentang yang ada.
·         Menurut islitah, ontologi adalah ilmu yang membahas tentang hakikat yang ada, yang merupakan ultimate reality, baik yang berbentuk jasmani/konkret, maupun rohani/abstrak.

2.    ALIRAN-ALIRAN ONTOLOGI
Dalam mempelajari ontologi muncul beberapa pertanyaan yang kemudian melahirkan aliran-aliran dalam filsafat. Dari masing-masing pertanyaan menimbulkan beberapa sudut pandang mengenai ontologi. Pertanyaan itu berupa “Apakah yang ada itu? (What is being?)”, “Bagaimanakah yang ada itu? (How is being?)”, dan "Dimanakah yang ada itu? (What is being?)”.[7]
a.       Apakah yang ada itu? (What is being?)
Dalam memberikan jawaban masalah ini lahir lima filsafat, yaitu sebagai berikut :
1.      Aliran Monoisme
Aliran ini berpendapat bahwa yang ada itu hanya satu, tidak mungkin dua. Haruslah satu hakikat saja sebagai sumber yang asal, baik yang asal berupa materi ataupun berupa ruhani. Tidak mungkin ada hakikat masing-masing bebas dan berdiri sendiri. Haruslah salah satunya merupakan sumber yang pokok dan dominan menentukan perkembangan yang lainnya. Plato adalah tokoh filsuf yang bisa dikelompokkan dalam aliran ini, karena ia menyatakan bahwa alam ide merupakan kenyataan yang sebenarnya. Istilah monisme oleh Thomas Davidson disebut dengan Block Universe. Paham ini kemudian terbagi ke dalam dua aliran :
·        Materialisme
Aliran ini menganggap bahwa sumber yang asal itu adalah materi, bukan ruhani. Aliran ini sering juga disebut dengan naturalisme. Menurutnya bahwa zat mati merupakan kenyataan dan satu-satunya fakta.[8]
Aliran pemikiran ini  dipelopori oleh bapak filsafat yaitu Thales (624-546 SM). Ia berpendapat bahwa unsur asal adalah air, karena pentingnya bagi kehidupan. Anaximander (585-528 SM) berpendapat bahwa unsur asal itu adalah udara, dengan alasan bahwa udara merupakan sumber dari segala kehidupan. Demokritos (460-370 SM) berpendapat bahwa hakikat alam ini merupakan atom-atom yang banyak jumlahnya, tak dapat dihitung dan amat halus. Atom-atom itulah yang merupakan asal kejadian alam.[9]
·        Idealisme
Idealisme diambil dari kata “idea” yaitu sesuatu yang hadir dalam jiwa.[10] Aliran ini menganggap bahwa dibalik realitas fisik pasti ada sesuatu yang tidak tampak. Bagi aliran ini, sejatinya sesuatu justru terletak dibalik yang fisik. Ia berada dalam ide-ide, yang fisik bagi aliran ini dianggap hanya merupakan bayang-bayang, sifatnya sementara, dan selalu menipu. Eksistensi benda fisik akan rusak dan tidak akan pernah membawa orang pada kebenaran sejati.[11]
Dalam perkembangannya, aliran ini ditemui dalam ajaran Plato (428-348 SM) dengan teori idenya. Menurutnya, tiap-tiap yang ada di dalam mesti ada idenya yaitu konsep universal dari tiap sesuatu. Alam nyata yang menempati ruangan ini hanyalah berupa bayangan saja dari alam ide itu. Jadi, idelah yang menjadi hakikat sesuatu, menjadi dasar wujud sesuatu.[12]
2.      Aliran Dualisme
Aliran ini berpendapat bahwa benda terdiri dari dua macam hakikat sebagai asal sumbernya, yaitu hakikat materi dan hakikat rohani, benda dan roh, jasad dan spirit. Kedua macam hakikat itu masing-masing bebas dan berdiri sendiri, sama-sama azali dan abadi. Hubungan keduanya menciptakan kehidupan dalam alam ini.
Tokoh paham ini adalah Descartes (1596-1650 M) yang dianggap sebagai bapak filsafat modern. Ia menamakan kedua hakikat itu dengan istilah dunia kesadaran (rohani) dan dunia ruang (kebendaan). Ini tercantum dalam bukunya Discours de la Methode (1637) dan Meditations de Prima Philosophia (1641). Dalam bukunya ini pula, Ia menerangkan metodenya yang terkenal dengan Cogito Descartes (metode keraguan Descartes/Cartesian Doubt). Disamping Descartes, ada juga Benedictus de Spinoza (1632-1677 M), dan Gitifried Wilhelm von Leibniz (1646-1716 M).[13]
  1. Aliran Pluralisme
Aliran ini berpandangan bahwa segenap macam bentuk merupakan kenyataan. Pluralisme bertolak dari keseluruhan dan mengakui bahwa segenap macam bentuk itu semuanya nyata. Pluralisme dalam Dictionary of Philosophy and Religion dikatakan sebagai paham yang menyatakan bahwa kenyataan alam ini tersusun dari banyak unsur, lebih dari satu atau dua entitas.
Tokoh aliran ini pada masa Yunani Kuno adalah Anaxagoras dan Empedocles, yang menyatakan bahwa substansi yang ada itu terbentuk dan terdiri dari empat unsur, yaitu tanah, air, api, dan udara. Tokoh modern aliran ini adalah William James (1842-1910 M), yang mengemukakan bahwa tiada kebenaran yang mutlak, yang berlaku umum, yang bersifat tetap, yang berdiri sendiri, dan lepas dari akal yang mengenal.
  1. Aliran Nihilisme
Nihilisme berasal dari bahasa Latin yang berarti nothing atau tidak ada. Sebuah doktrin yang tidak mengakui validitas alternatif yang positif. Istilah nihilisme diperkenalkan oleh Ivan Turgeniev pada tahun 1862 di Rusia.
Doktrin tentang nihilisme sebenarnya sudah ada semenjak zaman Yunani Kuno, yaitu pada pandangan Gorgias (485-360 SM) yang memberikan tiga proposisi tentang realitas. Pertama, tidak ada sesuatupun yang eksis. Kedua, bila sesuatu itu ada, ia tidak dapat diketahui. Ketiga, sekalipun realitas itu dapat kita ketahui, ia tidak akan dapat kita beritahukan kepada orang lain. Tokoh lain aliran ini adalah Friedrich Nietzche (1844-1900 M). Dalam pandangannya dunia terbuka untuk kebebasan dan kreativitas manusia. Mata manusia tidak lagi diarahkan pada suatu dunia di belakang atau di atas dunia di mana ia hidup.
  1. Aliran Agnostisisme
Paham ini mengingkari kesanggupan manusia untuk mengetahui hakikat benda. Baik hakikat materi maupun hakikat ruhani. Kata agnostisisme berasal dari bahasa Grik Agnostos, yang berarti unknown. A artinya not, gno artinya know. Timbulnya aliran ini dikarenakan belum dapatnya orang mengenal dan mampu menerangkan secara konkret akan adanya kenyataan yang berdiri sendiri dan dapat kita kenal.
Aliran ini dapat kita temui dalam filsafat eksistensi dengan tokoh-tokohnya seperti, Soren Kierkegaar (1813-1855 M) yang terkenal dengan julukan sebagai Bapak Filsafat Eksistensialisme, yang menyatakan bahwa manusia tidak pernah hidup sebagai suatu aku umum, tetapi sebagai aku individual yang sama sekali unik dan tidak dapat dijabarkan ke dalam sesuatu orang lain. Berbeda dengan pendapat Martin Heidegger (1889-1976 M), yang mengatakan bahwa satu-satunya yang ada itu ialah manusia, karena hanya manusialah yang dapat memahami dirinya sendiri. Tokoh lainnya adalah, Jean Paul Sartre (1905-1980 M), yang mengatakan bahwa manusia selalu menyangkal. Hakikat beradanya manusia bukan entre (ada), melainkan a entre (akan atau sedang). Jadi, agnostisisme adalah paham pengingkaran/penyangkalan terhadap kemampuan manusia mengetahui hakikat benda, baik materi maupun ruhani.[14]
b.      Bagaimanakah yang ada itu? (How is being?)
Apakah yang ada itu sebagai sesuatu yang tetap, abadi, atau berubah-ubah? Dalam hal ini, Zeno (490-430 SM) menyatakan bahwa sesuatu itu sebenarnya khayalan belaka. Pendapat ini dibantah oleh Bergson dan Russel. Seperti yang dikatakan oleh Whitehead bahwa alam ini dinamis, terus bergerak, dan merupakan struktur peristiwa yang mengalir terus secara kreatif.
c.       Di manakah yang ada itu? (Where is being?)
Aliran ini berpendapat bahwa yang ada itu berada dalam alam ide, adi kodrati, universal, tetap abadi, dan abstrak. Sementara aliran materilisme berpendapat sebaliknya, bahwa yang ada itu bersifat fisik, kodrati, individual, berubah-ubah, dan riil.[15]

3.    MANFAAT MEMPELAJARI ONTOLOGI
Ontologi yang merupakan salah satu kajian filsafat ilmu mempunyai beberapa manfaat, di antaranya sebagai berikut:
a.        Membantu untuk mengembangkan dan mengkritisi berbagai bangunan sistem pemikiran yang ada.
b.       Membantu memecahkan masalah pola relasi antar berbagai eksisten dan eksistensi.
c.        Bisa mengeksplorasi secara mendalam dan jauh pada berbagai ranah keilmuan maupun masalah, baik itu sains hingga etika.[16]

Dari penjelasan tersebut, penyusun dapat menyimpulkan bahwa ontologi merupakan salah satu diantara lapangan penyelidikan kefilsafatan yang paling kuno. Ontologi berasal dari bahasa Yunani yang berarti teori tentang keberadaan sebagai keberadaan. Pada dasarnya, ontologi membicarakan tentang hakikat dari sutu benda/sesuatu. Hakikat disini berarti kenyataan yang sebenarnya (bukan kenyataan yang sementara, menipu, dan berubah). Misalnya, pada model pemerintahan demokratis yang pada umumnya menjunjung tinggi pendapat rakyat, ditemui tindakan sewenang-wenang dan tidak menghargai pendapat rakyat. Keadaan yang seperti inilah yang dinamakan keadaan sementara dan bukan hakiki. Justru yang hakiki adalah model pemerintahan yang demokratis tersebut.
Dalam ontologi ditemukan pandangan-pandangan pokok pemikiran, yaitu monoisme, dualisme, pluralisme, nihilisme, dan agnostisisme. Monoisme adalah paham yang menganggap bahwa hakikat asalnya sesuatu itu hanyalah satu. Asal sesuatu itu bisa berupa materi (air, udara) maupun ruhani (spirit, ruh). Dualisme adalah aliran yang berpendapat bahwa asal benda terdiri dari dua hakikat (hakikat materi dan ruhani, hakikat benda dan ruh, hakikat jasad dan spirit). Pluralisme adalah paham yang mengatakan bahwa segala hal merupakan kenyataan. Nihilisme adalah paham yang tidak mengakui validitas alternatif yang positif. Dan agnostisisme adalah paham yang mengingkari terhadap kemampuan manusia dalam mengetahui hakikat benda.
Jadi, dapat disimpulakan bahwa ontologi meliputi hakikat kebenaran dan kenyataan yang sesuai dengan pengetahuan ilmiah, yang tidak terlepas dari perspektif filsafat tentang apa dan bagaimana yang “ada” itu. Adapun monoisme, dualisme, pluralisme, nihilisme, dan agnostisisme dengan berbagai nuansanya, merupakan paham ontologi yang pada akhirnya menentukan pendapat dan kenyakinan kita masing-masing tentang apa dan bagaimana yang “ada” itu.





[1] Cecep Sumarna. Filsafat Ilmu dari Hakikat Menuju Nilai. Bandung: Pustaka Bani Quraisy. 2006. hlm. 47.
[2] Amsal Bakhtiar. Filsafat Ilmu. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 2007. hlm. 132.
[3] Wibisono. Filsafat Ilmu. 2008. (Online), (http://cacau.blogsome.com, diakses 20 Maret 2008)
[4] Jujun S. Suriasumantri. Pengantar Ilmu dalam Perspektif, cet. VI. Jakarta: Gramedia. 1985. hlm. 5
[5] Sidi Gazalba. Sistimatika Filsafat Pengantar kepada Teori Pengetahuan, buku II, cet. I. Jakarta: Bulan Bintang. 1973. hlm. 106.
[6] Amsal Bakhtiar. Filsafat Agama I, cet. I. Jakarta: Logos Wacana Ilmu. 1997. hlm. 169.
[7] M. Zainuddin. Filsafat Ilmu Perspektif Pemikiran Islam. Jakarta: Lintar Pustaka Publisher. 2006. hlm. 25.
[8] Sunarto. Pemikiran tentang Kefilsafatan Indonesia. Yogyakarta: Andi Offset. 1983. hlm. 70.
[9] Jujun S. Suriasumantri. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. 1996. hlm. 64.
[10] Amsal Bakhtiar. Filsafat Ilmu. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 2007. hlm. 138.
[11] Cecep Sumarna. Filsafat Ilmu dari Hakikat Menuju Nilai. Bandung: Pustaka Bani Quraisy. 2006. hlm. 48.
[12] Harun Nasution. Filsafat Agama. Jakarta: Bulan Bintang. 1982. hlm. 53.
[13] Amsal Bakhtiar. Filsafat Ilmu. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 2007. hlm. 142.
[14] Amsal Bakhtiar. Filsafat Ilmu. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 2007. hlm. 148.
[15] M. Zainuddin. Filsafat Ilmu Perspektif Pemikiran Islam. Jakarta: Lintas Pustaka Publisher. 2006. hlm. 26.
[16] Farina Anis. Ontologi Islam. 2007. (Online), (http://permenungan.multiply.com, diakses 20 Maret 2008).