Nama lengkapnya adalah Abu Bakar Muhammad Ibn Abd Al-Malik Ibn Muhammad Ibn Thufail al-Qaisyi. Di barat dikenal dengan Abubacer. Ia dilahirkan di Guadix, 40 mil di timur laut Granada pada 506 H (1110M) Dan meninggal di kota Marraqesh Maroko pada 581 H (1185M). sebagai seorang turunan suku Qaisy, suku arab terkemuka, ia dengan mudah mendapat fasilitas belajar, apalagi kecintaanya kepada buku-buku dan ilmu pengetahuan mengalahkan cintanya kepada sesama manusia. Hal ini mengantarkannya menjadi seorang ilmuwan dalam banyak bidang seperti lazimnya ilmuwan pada masa itu yang meliputi kedokteran, kesusastraan, matematika, dan filsafat.[1]
Sebagaimana filosof-filosof muslim di masanya (juga filosof-filosof yunani), Ibn Thufail juga memiliki disiplin ilmu dalam berbagai bidang. Selain sebagai seorang filosof, ia juga ahli dalam ilmu kedokteran, matematika, astronomi, dan penyair yang sangat terkenal dari dinasti Al-Muwahiddin Spanyol. Sehingga karena keahlianya di segala bidang, beliau dapat dipercaya sebagaisekertaris. Dan setelah beliau diangkat menjadi dokter pemerintah dan sekaligus menjadi qadhi.[2]
Hanya sedikit karya tulis yang dapat dikenal sebagai buah pikir Ibn Thufail, diantaranya Rasa’il an- Nafs, Fi Biqa’al-Maskunah wa al-Ghair al-Maskunah, dan Hayy Ibn Yaqdzan. Namun, dari sekian karyanya itu, hanya Hayy Ibn Yaqdzan yang lengkap sampai pada kita. Karya ini telah diterjemahkan kedalam bahasa latin oleh Ciovvani Vico Dolla Mirandolla (Abad 15) sebagai karya besar ilmiah (magnum opus) yang menjadi referensi utama pada masa itu. Hayy Ibn Yaqdzan juga diterjemahkan oleh Edward Pockoke juga dalam bahasa latin.[3]
Selain itu beliau juga memiliki beberapa buku tentang kedokteran, serta risalah yang berisi kumpulan surat-menyurat yang beliau lakukan dengan Ibn Rusyd dalam berbagai persoalan filsafat. Ibn Rusyd mengatakan bahwa Ibn Thufail mempunyai teori-teori yang cemerlang dalam ilmu falak. Akan tetapi, semua karya Ibn Thufail itu tidak ada yang tersisa, kecuali risalah Hayy Ibn Yaqdzan.[4]
B. LATAR BELAKANG PEMIKIRAN FILSAFAT IBN THUFAIL
Sebelum menentukan corak pemikiran seorang tokoh, mengetahui latar belakang rasional politik yang melengkapi kehidupan sang tokoh yang akan dikaji menjadi sangat penting. Hal ini karena pemikiran merupakan produk budaya dari sebuah masyarakat, dimana seorang itu hidup, tumbuh dan dibesarkan.
Pada waktu itu, di dunia islam timur, terjadi gelombang trasferensi-tranmisi ilmu pengetahuan melalui gerakan penerjemahan dari berbagai bahasa, terutama Yunani, kedalam bahasa Arab pada akhir Abad ke-8 M. Kondisi dan situasi seperti itulah yang menyebabkan ilmu pengetahuan tumbuh dengan suburnya. Akan tetapi seiring dengan bergulirnya waktu dan bergulirnya penguasa, pemikiran filsafat justru dianggap sebagai sesuatu yang sesat dan menyimpang dari agama (syariat).
Jika pemikiran filsafat di dunia islam timur mengalami pasang-surut, maka hal yang sama juga terjadi di Dunia Islam Barat, ketika pemerintah Al-Manshur. Akibat serangan terhadap pemikiran filsafat, kegiatan intelektual pun kembali stagnan, bahkan para filsuf mendapatkan penyiksaan yang berat. Adanya tekanan terhadap para filsuf tidak berarti pemikiran filsafat menjadi mati. Para filsuf tetap menjalankan aktivitasnya mendalami tradisi pemikiran Yunani, meskipun secara sembunyi-sembunyi, hingga tegaknya Dinasti Muwahhidun. Ibn Bajjah (W.533 H), adalah salah seorang filsuf yang sering menyendiri (uzlah). Dia satu-satunya filsuf yang selamat dari siksaan dan amukan massa .
Dalam situasi yang tidak kondusif bagi pengembangan intelektual inilah Ibn Thufail (506-581 H) lahir dan dibesarkan. Ia belajar filsafat kepada Ibn Bajjah. Berbeda dengan para filsuf lainnya yang seolah menjadi musuh penguasa, Ibn Thufail justru memiliki kedekatan dengan para penguasa. Hal inilah yang membuatnya lebih leluasa didalam mengembangkan pemikiran filsafat.
Meskipun pemikiran filsafat pada masa Ibn Thufail sudah mendapatkan tempat dihati kaum muslimin, namun hal itu masih terbatas pada kalangan elite tertentu saja. Dalam hal ini, masyarakat awam masih melihat bahwa filsafat merupakan ajaran yang sesat dan bertentangan dengan agama (syariat) islam. Dari situ dapat dipahami mengapa Ibn Thufail di dalam menuangkan filsafatnya memilih bahasa simbol lewat sebuah novel fiktif bertitel Hayy Ibn Yaqdzan. Pemakaian bahasa simbol di dalam menuangkan pemikiran filsafatnya juga dimaksudkan untuk mengemas filsafat dalam bahasa yang lebih menarik, sehingga mudah dipahami oleh mereka yang hendak memasuki dunia filsafat. [5]
C. GARIS BESAR PERJALANAN HAYY DALAM KISAH HAYY IBN YAQDZAN
Hayy bin Yaqdhan adalah karya Ibnu Thufail yang cukup terkenal, dan buku tersebut merupakan hasil karangannya sendiri. Di dalam buku tersebut dipaparkan bahwa seorang anak tinggal sendirian di suatu pulau, yaitu Hayy bin Yaqdhan.[6]
Dalam pada itu rusa pengasuhnya semakin lama semakin tua dan lemah, kemudian mati. Pikiran manusia yang serba hendak tahu, ingin mengetahui sebab terjadinya perubahan besar pada rusa itu. Untuk itu ia membuka salah satu bagian tubuh hewan tersebut, dan dengan cermatnya ia menyelidiki bagian-bagian tubuh rusa tersebut. Kemudian ia berkesimpulan bahwa jantung merupakan pusat bagi anggota- anggota tubuh.[8]
Penghidupan Hayy kemudian berkembang mengikuti masyarakat yang amat primitive. Dia melihat semua hewan tertutup auratnya dengan kulit dan bulu. Lalu hal tersebut ditirunya. Diambilnya bulu-bulu burung dan daun-daun kayu guna menutup aurat.[9] . Lambat laun ia mengenal kebutuhan-kebutuhan hidup yang lain, mengetahui cara memakai api, manfaat bulu, tahu menenun dan akhirnya mengetahui gubug sebagai tempat berteduhnya.[10] Ia dikaruniai Allah kecerdasan yang luar biasa. Ia menemukan api, membuat berbagai alat, perkakas, dan senjata. Bahkan sanggup mengenal hakikat tertinggi dalam wujud dan di alam metafisik, ia dapat mengenal semua itu melalui jalan filfasat.[11]
Lebih rinci lagi ada tujuh fase yang dilalui oleh Hayy, yaitu: Fase pertama: Hayy dipelihara oleh seekor kijang atau rusa hingga ia dapat belajar tindak tanduk dan bahasa hewan sekelilingnya. Ia mulia menutupi tubuhnya, membuat tempat berteduh dan mempersenjatai dirinya. Bahkan ia mulai menyimpan bahan makanan untuk persiapan. Fase kedua: Kijang atau rusa yang memeliharanya mati. Hayy berusaha untuk mengetahui penyebab kematian kijang atau rusa itu dengan kematian binatang-binatang yang lainnya. Hasil penyelidikannya menyimpulkan adanya jiwa (roh) yang merupakan daya sentral dan bersifat immateri. Jiwa tersebut berfungsi sebagai penggerak jasad binatang-binatang. Hayy menemukan hal itu setelah melakukan pembedahan terhadap mayat-mayat binatang. Pada tahap ini pula ia mengetahui fungsi setiap anggota badan dan daya yang menggerakkannya. Fase ketiga: Hayy mulai mengetahui api, kegunaan dan sumbernya. Fase keempat: Hayy mulai mengetahui kesatuan dan keberagaman pada jasad dan jiwa yang telah diamatinya. Pada tahap ini ia telah sampai kepada generalisasi dan klasifikasi berdasarkan kesatuan dan keberagaman itu. Fase kelima: Hayy melihat keatas dan memperhatikan benda-benda langit. Dari pengamatannya itu ia mengetahui astronomi. Namun, lebih penting lagi, dengan melihat ketertiban dan keteraturan serta pergerakan dan perubahannya, ia memikirkan kesamaan dengan bumi atau makhluk bumi dan menyimpulkan kepastian adanya pergerakan tertentu yang sama untuk semuanya. Fase keenam: Hayy menegaskan bahwa peredaran perjalanan antara jasad yang materi dengan jiwa yang immateri , disamping menemukan kepastian adanya penggerak yang disebut wajib al-wujud. Meurutnya sal alam materi itu tidak mungkin materi lagi. Karena jika demikian, tentulah ada rangkaian materi yang tidak pernah berujung (tasalsul). Jadi, asal pertama ini haruslah immateri dan wajib al-wujud. Jasad itu berbeda perjalanannya dengan jiwa. Jiwa yang immateri itulah yang dapat mengetahui wajib al-wujud, dan selalu tunduk kepadaNya, dengan begitu jiwa tersebut akan abadi. Sebaliknya, jiwa yang tidak menngenal dan tunduk kepada-Nya akan hancur. Hayy memikirkan hal seperti itu hingga memasuki fase ketujuh. Fase ketujuh: Hayy berkesimpulan bahwa Tuhan itu pasti baik dan bijaksana, sempurna, penuh rahmat, dan menjadi tujuan setiap manusia. Karena itu, puncak kebahagiaan menurutnya hanya dapat dicapai bila seseorang selalu berhubungan jiwanya dengan Tuhan tanpa henti, selalu merenungkan dan memikirkannya serta melepaskan diri dari dunia materi. Dengan perenungan yang demikiannya, seseorang akan sampai kepada obyek pengetahuan yang paling tinggi, yakni wajib al-wujud tadi, dan itulah puncak yang senantiasa didambakan setiap manusia.[12]
D. RASIO DAN INTUISI DALAM PERSPEKTIF ILUMINASI IBN THUFAIL
Dalam ranah filsafat, di tengah semakin menguatnya pengaruh Platonisme dan Aristotelianisme, Ibn Thufail lebih cenderung dimasukkan filsuf bercorak neo-platonik. Ciri utamanya adalah usaha Ibn Thufail yang sangat gencar untuk menjembatani antara filsafat dengan mistisisme, antara akal dengan wahyu (agama), antara realitas dengan idealitas, antara fenomena dengan nomena, antara fisis dengan metafisis, antara yang fana dengan yang baka, antara syariat dengan ma’rifat, dll. Maka, menurut Lenn E. Goodman, fabel filosofis Ibn Thufail, Hayy Ibn Yaqdzan, merupakan pertanda yang sangat jelas bahwa Ibn Thufail merupakan salah satu penganut aliran filsafat neo-platonik. Karena dalam cerita itu, Ibn Thufail menggambarkan kesebangunan antara akal lewat pemikiran yang mendalam dan jernih dengan wahyu.[13]
Dalam perspektif filsafat Ibn Thufail, rasio (al-‘aql), dalam pengertiannya sebagai esensi yang memiliki daya berfikir, menempati posisi yang sangat menentukan, terutama di dalam teori kesatuan (an-nazhariyyah al-ittishal). Akan tetapi, menurut Ibn Thufail rasio saja tidak cukup dijadikan sebagai pijakan di dalam mencapai pengetahuan sejati. Rasio harus didukung oleh intuisi yang telah terlatih melalui proses olah spiritual, sehingga memiliki ketajaman intuisi yang siap menerima penyinaran (isyraq) dari esensi Yang Wajib Ada.
Ibn Thufail, dengan karya alegorisnya, Hayy Ibn Yaqdzan, sebenarnya ingin membangun sebuah struktur pengetahuan yang lebih tinggi dari yang telah dirintis oleh Ibn Bajjah melalui teori penyatuannya. Struktur filsafat Ibn thufail dibangun di atas dua model pengetahuan sekaligus, yaitu pengetahuan diskursif yang dibangun di atas dasar rasio dan pengetahuan intuitif-mistis yang didasarkan pada ketajaman intuisi.[14]
Dalam perspektif Ibn Thufail, akal (rasio) semata tidak akan mampu mencapai pengetahuan sejati. Sebab, akal yang termasuk bagian dari esensi yang dimiliki oleh manusia, yakni esensi yang berdaya pikir, pada kenyataannya berada di alam materi atau diliputi oleh materi dalam bentuk jasad manusia. Oleh karena itu, untuk dapat mencapai pengetahuan sejati di dalam tingkatan tertinggi, kekuatan akal harus dibarengi dengan kekuatan intuisi, sehingga menjadi manusia yang memiliki intuisi kuat. Untuk mencapai tingkatan itu menurut ibn Thufail, seseorang harus melakukan olah spiritual, yang hal ini juga dilakukan oleh Hayy Ibn Yaqdzan.[15]
Hay Ibn Yaqdzan pertama kali menggunakan rasionya untuk mengungkap pengetahuan particular yang terkait dengan alam fisik, kemudian naik ke persepsi tentang pengetahuan universal, yang disebut sebagai pengetahuan rasional, dan setelah itu ia meningkat hingga mencapai pengetahuan tentang Tuhan. Pengetahuan Tuhan oleh Ibn Thufail disebut sebagai pengetahuan sejati. Pengetahuan ini diperoleh melalui suatu proses yang disebut sebagai olah spiritual(ar-riyadhloh), di samping juga melalui pembuktian dan analogi. Pengetahuan inilah yang kemudian disebut sebagai pengetahuan empiris.
Dalam mencapai pengetahuan sejati, menurut perspektif ibn Thufail harus melalui tahapan peniruan perilaku benda-benda langit dengan olah spiritual yang mirip amalan ritual agama(seperti thowaf), hal itu bias dikatakan sebagai khas Ibn Thufail. Bahkan ini merupakan suatu system yang dimunculkan oleh Ibn Thufail dalam rangka menyatukan dua model pemikiran, yakni pengatahuan yang berlandaskan rasio murni, dan pengetahuan yang didasarkan pada intuisi, yakni pengetahuan yang diperoleh melalui penyinaran (illumination) yang berakar pada tradisi Timur, yang cenderung neo-Platonik.
[3] Hayy Ibn Yaqdzan:Intelektualitas Manusia Menemukan Kebenaran, http://lateralbandung.wordpress.com/2007/07/03/Ibn-Thufail-novelis-muslim-dari-Spanyol/, diakses tgl 04 April 2009.
[4] M. Hadi Masruri, Ibn Thufail: Jalan Pencerahan Mencari Tuhan, Yogyakarta : LKiS Yogyakarta, 2005, hal.36.
[13] Filsafat dan Sufisme Islam, http://muhammad-kurdi.blogspot.com/2008/10/Tuhan-ibn-Thufail-dan-hayy-ibn-yaqdzan.html. diakses tanggal 04 April 2009.
[14]M. Hadi Masruri, Op. cit., hal. 117-118.
[15]M. Hadi Masruri, Op. cit., hal. 119-120.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar