2.1 PENGERTIAN KAIDAH-KAIDAH ILMU TAFSIR
Kaidah-kaidah tafsir dalam Bahasa Arab dikenal dengan istilah qawa’id al-tafsir, terdiri dari dua kata yaitu qawa’id dan al-tafsir. Kata ﻗﻭﺍﻋﺩ merupakan bentuk jamak dari ﻗﺎﻋﺩﺓ yang berarti undang-undang, peraturan, dan asas. Secara istidah didefinisikan dengan undanng-undang, sumber, dasar yang digunakan secara umum yang mencakup semua yang partikular.[1]
Adapun kata ﺍﻠﺗﻔﺴﻴﺮ secara bahasa berasal dari kataﻓﺴﺮ -ﻴﻔﺴﺮ -ﺗﻔﺴﻴﺮ yang berarti mengungkapkan atau menampakkan.[2] Menurut al-Zarkasyi tafsir merupakan ilmu yang dengannya didapatkan pemahaman terhadap kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw mengenai penjelasan maknanya, serta pengambilan hukum-hukum dan hikmah-hikmahnya. Sedangkan menurut al-Zarqani arti tafsir adalah ilmu yang di dalamnya dibahas petunjuk-petunjuk al-Quran yang dimaksudkan oleh Allah swt dan diperoleh berdasarkan atas kemampuan manusia.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dikatakan bahwa ﻗﻭﺍﻋﺩﺍﻠﺗﻔﺴﻴﺮ adalah pedoman-pedoman yang disusun oleh ulama’ dengan kajian yang mendalam guna mendapatkan hasil yang maksimal dalam memahami makna-makna al-Quran, hukum-hukum, dan petunjuk-petunjuk yang terkandung di dalamnya.[3]
2.2 KAIDAH-KAIDAH ILMU TAFSIR
Kaidah-kaidah ilmu tafsir Al-Quran sangat tinggi nilainya, dan manfaatnya juga sangat besar. Serta dapat membantu kita untuk memahami kalamullah dan dapat dijadikan penuntun untuk mendapatkan pemahaman yang sempurna. Kaidah-kaidah memberikan seseorang metode-metode menafsirkan Al-Quran dan merintis jalan kepada manhajj (sistem) pemahaman tentang Allah.[4]
Secara ringkas kaidah-kaidah ilmu tafsir al-Quran ada lima, yaitu kaidah quraniyah, kaidah sunnah, kaidah bahasa, kaidah ushul al-fiqh, dan kaidah ilmu pengetahuan. Berikut akan dijelaskan mengenai kaidah-kaidah ilmu tafsir al-Quran satu-persatu.
2.2.1 Kaidah Quraniyah
Kaidah quraniyah ialah penafsiran al-Quran yang diambil oleh ulumul quran dari al-Quran. Beberapa kaidah yang lazim digunakan dalam menjelaskan kaidah quraniyah antara lain sebagai berikut:
Maksudnya yaitu jika satu nas menggunakan redaksi yang bersifat umum, maka tidak ada pilihan lain selain menerapkan nas tersebut, sekalipun nas tersebut turun untuk menanggapi suatu peristiwa tertentu. Kaidah ini dipegang oleh mayoritas ulama dengan argumentasinya yang bervariatif.[6] Misalnya pada QS Al-Maidah: 38 ﻭﺍﻠﺴﺎﺭﻕﻭﺍﻠﺴﺎﺭﻗﺔﻓﺎﻗﻄﻌﻭﺍﺍﻳﺩﻳﻬﻣﺎﺟﺯﺍﺀﺑﻣﺎﻛﺴﺑﺎﻧﻜﺎﻻﻣﻦﺍﷲﻭﺍﷲﻋﺯﻴﺯﺤﻜﻴﻢ
Artinya: Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Dalam menanggapi ayat tersebut jumhur ulama terbagi menjadi dua, yaitu:
1. Menerapkan langsung hukum tersebut tanpa memandang latar belakang dan sabab al-nuzul. Maksudnya yaitu Allah swt Maha Perkasa dan Maha Bijaksana, maka Ia memerintahkan memotong tangan pencuri dan menetapkan sanksi kepada orang-orang yang melampaui batas sebagai hukum, takdir, dan ganjaran bagi mereka.
2. Mengetahui sebab nuzulnya kemudian menganalisa unsur-unsur yang melingkupinya, baik kualitas peristiwa, pelaku, tempat, maupun waktunya. Maksudnya yaitu Allah Maha Bijaksana maka apabila orang tersebut bertaubat dan kembali ke jalan Allah, maka Allah akan mengampuni dan mengasihinya. Maka demikian pula hendaknya kita sebagai manusia juga bisa memaafkan orang tersebut.
b. Kandungan suatu ayat yang memiliki keterkaitan dengan nama Allah menunjukkan bahwa hukum yang terkandung berkaitan dengan nama yang mulia.
Misalnya QS Al-Baqarah: 32 ﻗﺎﻠﻭﺍﺴﺑﺤﻧﻚﻻﻋﻠﻢﻠﻧﺎﺍﻻﻤﺎﻋﻠﻤﺗﻧﺎﺍﻧﻚﺍﻧﺖﺍﻠﻌﻠﻴﻢﺍﻠﺤﻜﻴﻢ
Artinya: Mereka menjawab: "Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Ayat tersebut merupakan lanjutan dari ayat sebelumnya mengenai dialog Tuhan dengan para malaikat berkenaan dengan pengangkatan Adam sebagai khalifah di bumi. Terhadap upaya Tuhan yang demikian, malaikat heran dan mengatakan: “Apakah Engkau akan menjadikan manusia sebagai khalifah, padahal manusia sering membuat kerusakan dan saling membunuh?” untuk membuktikan kamahatahuan Tuhan, Dia mengajarkan Adam nama-nama benda yang tidak diketahui malaikat. Ketidakmampuan malaikat dalam hal ini mengakui kemahatahuan Tuhan, kesempurnaan hikmah-Nya dan membuktikan keterbatasannya. Kekeliruan pandangan malaikat ini digambarkan dalam ungkapan: ﺍﻧﻚﺍﻧﺖﺍﻠﻌﻠﻴﻢﺍﻠﺤﻜﻴﻢ.
c. Kaidah yang bertalian dengan mutasyabihat dan muhkamat.
Ayat yang muhkamaat ialah ayat-ayat yang terang dan tegas maksudnya, dapat dipahami dengan mudah. Sedangkan pengertian ayat-ayat mutasyaabihaat adalah ayat-ayat yang mengandung beberapa pengertian dan tidak dapat ditentukan arti mana yang dimaksud kecuali sesudah diselidiki secara mendalam; atau ayat-ayat yang pengertiannya hanya Allah yang mengetahui seperti ayat-ayat yang berhubungan dengan yang ghaib-ghaib misalnya ayat-ayat yang mengenai hari kiamat, surga, neraka dan lain-lain.[7]
Contoh ayat muhkamat adalah QS Al- An’am: 154,
ﺜﻢﺍﺘﻴﻨﺎﻣﻮﺳﻰﺍﻠﻜﺘﺐﺘﻣﻣﺎﻣﺎﻋﺎﻰﺍﻠﺬﻱﺍﺣﺳﻥﻮﺘﻔﺼﻴﻼﻠﻜﻞﺸﻲﺀﻮﻫﺪﻯﻮﺭﺭﺣﻤﺔﻠﻌﻠﻬﻢﺑﻠﻘﺎﺀﺭﺑﻬﻢ ﻳﺆﻤﻨﻮﻥ
Artinya: Kemudian Kami telah memberikan kepada Musa Kitab (Taurat) untuk menyempurnakan (nikmat Kami) kepada orang yang berbuat kebaikan, untuk menjelaskan segala sesuatu dan sebagai petunjuk dan rahmat agar mereka beriman akan adanya pertemuan dengan Tuhannya.
Sedangkan contoh ayat mutasyabihat adalah huruf-huruf penggalan (al-huruf al-muqatha’ah) yang terdapat pada awal surat, seperti lafad alif-lam-mim, alif-lam-ra, ha-mim, dan sebagainya.[8]
2.2.2 Kaidah Sunnah
Berdasarkan QS An-Nahl ayat 44 dan 64, Nabi Muhammad sebagai Rasul yang datang untuk menjelaskan ayat-ayat yang diturunkan Tuhan. Dengan demikian, maka rasul merupakan sumber penjelas tentang makna-makna Al-Quran. Beliau tidak menafsirkan menurut akal pikiran, tetapi menurut wahyu Ilahi.[9]
Kaidah yang dipergunakan diantaranya ialah:
a. Sunnah harus dipakai sesuai dengan petunjuk Al Quran. Secara logika penjelasan itu tidak boleh bertentangan dengan al-Quran sebagai materi yang dijelaskannya. Dengan demikian penjelasan Nabi saw selalu dalam kerangka al-Quran. Hal itu terbukti dengan tidak ditemukannya hadis shahih yang bertentangan dengan al-Quran.
b. Menghimpun hadis yang pokok bahasannya sama. Hadis yang dimaksud dalam hal ini adalah hadis yang shahih, yaitu dengan cara mengembalikan kandungan yang mutasyabih kepada yang muhkam, mengkaitkan yang mutlak kepada yang muqayyad, dan menkhususkan yang umum. Dengan demikian, akan didapatkan suatu pemahaman yang benar dan utuh berdasarkan suatu ketetapan bahwa hadis berfungsi manafsirkan al-Quran dan menjelaskan maknanya, menjelaskan makna globalnya, menjelaskan makna yang belum terungkap, dan sebagainya.
2.2.3 Kaidah Bahasa
Al Quranul Karim diturunkan kepada umat manusia dengan berbahasa Arab. Hal ini dapat dibuktikan dalam QS Yusuf: 2 ﺍﻨﺎﺍﻨﺰﻠﻨﻪﻗﺮﺍﻨﺎﻋﺮﺑﻴﺎﻠﻌﻠﻜﻢﺘﻌﻘﻠﻮﻥ
Artinya: Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Quran dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya. Oleh karena itu, berarti tidak ada jalan lain bagi umat Islam untuk memahaminya kecuali dengan menguasai dan memahami bahasa Arab. Di antara kaidah-kaidah yang harus dipahami antara lain:
a. Dhomir
Secara bahasa dhamir berasal dari kata dasar al-dhumur yang berarti kurus kering, sebab dilihat dari bentuknya memang terlihat ringkas dan kecil. Kata dhamir juga bisa diambil dari kata al-adhmar yang berarti tersembunyi, sebab banyak yang tidak tampak dalam bentuk nyatanya.[10] Sedangkan secara istilah, dhamir adalah lafazh yang digunakan sebagai pengganti, baik kata ganti untuk orang pertama (dhamir mutakallim), orang kedua (dhamir mukhattab), maupun orang ketiga (dhamir ghaib).[11]
b. Al-Ta’rif dan Al-Tankir (Isim Ma’rifah dan Isim Nakirah)
Secara terminologis para ahli bahasa (ahl an-nahw) mendefinisikan isim ma’rifah sebagai isim yang menunjukkan sesuatu yang sudah jelas.[12] Dalam bahasa Arab ism al-ma’rifah mempunyai peran penting, baik secara sintaksis maupun sistematis. Secara umum dapat dikatakan bahwa fungsi ism al-ma’rifah adalah untuk menunjukkan bahwa kata yang bersangkutan adalah ma’ruf (diketahi) atau untuk ta,rif.[13] Sedangkan yang dimaksud dengan ism al-nakirah merupakan kebalikan dari ism al-ma’rifah, yaitu isim yang menujukkan sesuatu yang belum jelas pengertiannya. Definisi lain menyebutkan bahwa ism al-nakirah adalah setiap isim yang pantas baginya kemasukkan alif-lam.[14]
c. As-Sual wa Al-Jawab
Kaidah yang dipergunakan antara lain:
1. Jawaban menyimpang dari soal
Misalnya: QS al-Baqarah: 189 ﻳﺴﺄﻠﻮﻨﻚﻋﻋﻥﺍﻷﻫﻠﺔﻗﻞﻫﻲﻣﻮﺍﻗﻴﺖﻠﻠﻨﺎﺱﻮﻮﺍﻠﺤﺞ
Artinya: Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji.
Asbab al-Nuzul ayat ini adalah bahwa ada sekelompok orang yang menanyakan kepada Rasulullah saw tentang bulan sabit (al-ahillah), kenapa semula ia tampak kecil seperti benang, kemudian lama-kelamaan berubah sedikit demi sedikit menjadi purnama, lalu ia menyusut kembali seperti keadaan seperti semula?[15]
Secara logika, pertanyaan itu seharusnya dijawab dengan menerangkan proses perubahan yang terjadi pada bulan tersebut. Namun terhadap pertanyaan yang demikian itu, jawaban yang diberikan al-quran kepada mereka adalah berupa penjelasan tentang hikmahnya, dengan alasan untuk mengingatkan mereka bahwa yang lebih penting untuk dipertanyakan adalah hikmah dari bulan sabit, bukan seperti yang mereka pertanyakan.[16]
Misalnya: QS Thaha: 18
ﻗﻞﻫﻲﻋﺼﺎﻱﺃﺘﻮﻜﺄﻋﻠﻴﻬﺎﻮﺃﻫﺶﺒﻬﺎﻋﻠﻰﻏﻨﻤﻲﻮﻠﻲﻓﻴﻬﺎﻤﺎﺭﺏﺃﺧﺭﻯ
Artinya: Berkata Musa: Ini adalah tongkatku, aku bertelekan padanya dan aku pukul (daun) dengannya untuk kambingku, dan bagiku ada lain keperluan yang lain padanya.
Ayat tersebut merupakan jawaban dari pertanyaan yang disebutkan pada ayat sebelumnya, yaitu QS Thaha: 17 ﻮﻤﺎﺘﻠﻚﺑﻴﻤﻨﻚﻴﺎﻤﻮﺳﻰ
Artinya: Apakah ini yang di tanganmu, hai Musa?
Dalam ayat ini, sebenarnya Allah hanya mempertanyakan kepada Nabi Musa perihal apa yang ada di tangan kanannya. Kemudian, pertanyaan itu oleh Nabi Musa dijawab bahwa yang ada di tangan kanannya adalah tongkat. Dengan jawaban yang demikian, sebenarnya sudah mencukupi bagi si penanya dan sudah dapat dipahami, namun Nabi Musa menambahkan dalam jawabannya sesuatu yang terkait dengan fungsi tongkat tersebut, yaitu untuk bertelekan, memukul daun, dan beberapa fungsi lainnya. Hal yang demikian, dilakukan Nabi Musa karena ia merasa senang dengan pertanyaan yang dilontarkan Allah kepadanya.[18]
3. Jawaban terhadap suatu pertanyaan yang diajukan bersifat lebih sempit cakupannya.
Misalnya: QS Yunus: 15 ﻗﻞﻤﺎﻴﻜﻮﻥﻠﻰﺃﻥﺃﺑﺪﻠﻪﻤﻥﺗﻠﻘﺎﺀﻧﻔﺴﻰ
Artinya: Katakanlah: Tidaklah patut bagiku menggantinya dari pihak diriku sendiri.
Ayat tersebut merupakan jawaban terhadap pertanyaan yang disebutkan sebelumnya (pada ayat yang sama), yaitu:
ﻗﺎﻞﺍﻠﺬﻳﻥﻻﻳﺮﺟﻮﻥﻠﻘﺎﺀﻧﺎﺍﺋﺖﺑﻘﺮﺍﻥﻏﻳﺮﻫﺬﺍﺍﻮﺑﺪﻟﻪ
Artinya: Orang-orang yang tidak mengharapkan pertemuan dengan kami berkata: Datangkanlah kitab selain Al-Qur’an ini atau gantilah.
Dalam ayat tersebut setidaknya ada dua pertanyaan pokok, yaitu perintah untuk mendatangkan al-Quran yang lain, dan jikalau tidak dapat maka disuruh untuk menggantinya. Terhadap pertanyaan ini, jawaban yang diberikan al-Quran tidak mencakup kedua hal dimaksud, tetapi hanya terfokus pada satu hal, yaitu yang terkait dengan perintah untuk menggantinya. Hal ini mengingat bahwa mengganti itu lebih mudah daripada menciptakan kembali. Jika mengganti saja sudah tidak mampu, apalagi untuk menciptakan pasti akan lebih sulit.[19]
d. Jumlah Ismiyah dan Jumlah Fi’liyah
Jumlah ismiyah atau kalimat nominal menunjukkan arti subut (tetap) dan istimrar (terus-menerus), sedang jumlah fi’liyah atau kalimat verbal menunjukkan arti tajaddud (timbulnya sesuatu) dan hudus (temporal). Masing-masing kalimat ini mempunyai tempat tersendiri yang tidak bisa ditempai oleh yang lain. Misalnya tentang infaq yang diungkapkan dengan kalimat verbal (jumlah fi’liyah), seperti dalam surah Ali ‘imran:134
ﺍﻟﺬﻳﻥﻳﻨﻔﻘﻮﻥﻓﻰﺍﻟﺴﺮﺍﺀﻮﺍﻟﻀﺮﺍﺀﻮﺍﻟﻜﺎﻇﻤﻴﻥﺍﻟﻐﻴﻅﻮﺍﻟﻌﺎﻓﻴﻥﻋﻥﻥﺍﻟﻨﺎﺱﻮﷲﻴﺤﺐﺍﻟﻤﺤﺴﻨﻴﻥ
Artinya: (Yaitu) orang-orang yang berinfaq, baik di waktu lapang maupun sempit dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Allah mencintai orang-orang berbuat kebaikan.
Contoh kalimat nominal (jumlah ismiyah) yaitu tentang keimanan, seperti dalam QS al-Hujurat:15
ﺍﻨﻤﺎﺍﻟﻤﺆﻤﻨﻮﻥﺍﻟﺬﻴﻥﺍﻤﻨﻮﺑﷲﻮﺭﺴﻮﻟﻪﺛﻢﻟﻢﻴﺭﺗﺎﺑﻮﺍﻮﺟﺎﻫﺪﻮﺍﺑﺎﻣﻮﺍﻟﻬﻢﻮﺍﻧﻔﺴﻬﻢﻓﻲﺴﺑﻴﻞﷲﺍﻮﻟﺌﻚﻫﻢﺍﻟﺼﺪﻗﻮﻥ
Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang mukmin yang sebenarnya adalah mereka yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwanya di jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar.
Hal ini dikarenakan infaq merupakan suatu perbuatan yang bersifat temporal yang terkadang ada dan terkadang tidak ada. Lain halnya dengan keimanan, ia mempunyai hakikat yang tetap berlangsung selama hal-hal yang menghendakinya masih ada.[20]
e. Mashdar
Cara menunjukkan sesuatu yang diwajibkan adalah dengan menggunakan mashdar dengan bacaan marfu’ ( _ ) dan cara menunjukkan sesuatu yang disunatkan adalah dengan menggunakan mashdar dengan bacaan manshub ( _ ).[21]
Contoh:
1. QS Al-Baqarah: 229 … ﺍﻟﻃﻼﻕﻣﺭﺗﻦﻓﺈﻣﺴﺎﻙﺒﻣﻌﺭﻭﻑﺍﻭﺗﺴﺭﻳﺢﺑﺈﺣﺴﺎﻥ
Artinya: Talak (yang dapat dirujuk) itu dua kali. (Setelah itu suami dapat) menahan dengan baik, atau melepaskan dengan baik …
Kata ﺇﻣﺴﺎﻙ (menahan) dan ﺗﺴﺭﻳﺢ (melepaskan) dengan bacaan marfu’ menunjukkan wajibnya ruju’ dan wajibnya cerai.
2. QS Muhammad: 4 … ﻓﺇﺫﺍﻟﻘﻴﺗﻢﺍﻟﺬﻴﻦﻛﻔﺭﻭﺍﻓﻀﺭﺏﺍﻟﺭﻗﺎﺏ
Artinya: Maka apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir (di medan perang), maka pukullah batang leher mereka. …..
Kata ﻓﻀﺭﺏﺍﻟﺭﻗﺎﺏ (pukullah batang leher) dibaca manshub, menunjukkan sunah memukul kuduk orang kafir dalam keadaan perang.
2.2.4 Kaidah Ushul al-Fiqh
Di antara kaidah-kaidah ini adalah:
a. Kaidah yang berkaitan dengan al-amr wa al-nahy
Al-amr adalah tuntutan untuk melaksanakan sesuatu pekerjaan dari pihak yang lebih tinggi derajatnya kapada pihak yang lebih rendah. Sedangkan al-nahy merupakan kebalikan dari al-amr. Apabila Allah swt memerintahkan sesuatu berarti melarang untuk melakukan sebaliknya. Apabila Dia memuji terhadap diri-Nya atau kekasih-Nya dengan meniadakan kekurangan sedikit pun berarti menetapkan kesempurnaan. Contoh: Allah memerintahkan berbuat adil berarti Dia melarang berbuat zalim. Larangan berdusta berarti perintah berbuat jujur. Penafian sifat kadzib Rasul saw, berarti penetapan sifat jujurnya.[22]
b. Kaidah-kaidah ushuli lainnya antara lain:
1. Am dan Khash. Am adalah lafazh yang mencakup seluruh satuan-satuan yang pantas baginya dan tidak terbatas dalam jumlah tertentu.[23] Sedangkan lafazh khash merupakan kebalikan dari lafazh am, yaitu yang tidak menghabiskan semua apa yang pantas baginya tanpa ada pembatasan.
2. Mujmal dan Mubayyan. Mujmal adalah lafazh yang mengandung dua makna atau lebih, yang kesemuanya masih sulit untuk ditentukan secara pasti mana yang lebih tepat untuknya, karena makna yang dikandung oleh lafazh tersebut sama-sama kuatnya.[24] Sedangkan mubayyan merupakan penjelas terhadap lafazh yang masih mujmal pengertiannya.
3. Manthuq dan Mafhum. Manthuq adalah sesuatu (makna) yang ditunjukkan oleh ucapan lafazh itu sendiri.[25] Dengan kata lain, pengucapan lafazh itu sendirilah yang memberi jalan bagi kita untuk dapat mengerti maksud kandungannya sehingga tidak ada kemungkinan makna lain kecuali apa yang dapat dimengerti dari teks itu sendiri.[26] Sedangkan mafhum adalah sesuatu (makna) dari suatu lafazh yang ditunjukkan secara tersirat.
4. Muthlaq dan Muqayyad. Muthlaq adalah suatu lafazh yang menunjukkan kepada satu-satuan tertentu tetapi tanpa adanya pembatasan. Sedangkan yang dimaksud lafazh muqayyad adalah kebalikan dari lafazh muthlaq. Manna’ al-Qaththan dalam Mabahis fi ‘Ulum al-Qur’an, mendefinisikannya sebagai suatu lafazh yang menunjukkan atas suatu hakikat dengan adanya batasan.
5. Hakikat dan Majas. Hakikat merupakan suatu lafazh yang tetap pada makna aslinya, dan tidak ada taqdim (makna yang didahulukan) dan ta’khir (makna yang diakhirkan) di dalamnya.[27] Sedangkan majaz adalah lafazh yang digunakan untuk suatu arti, yang semua lafazh itu bukan diciptakan untuknya.[28]
2.2.5 Kaidah Ilmu Pengetahuan
Di samping kaidah-kaidah yang disebutkan di atas, seorang mufasir mesti memiliki ilmu pengetahuan lainnya, seperti perubahan social dan ilmu pengetahuan lainnya. Hal ini didasarkan atas prinsip al-Quran yang diturunkan sebagai rahmah li al-‘alamin. Dengan demikian maka al-Quran akan senantiasa sesuai dengan perkembangan zaman dan tempat. Contoh: ﺧﻟﻖﺍﻹﻧﺴﺎﻥﻣﻥﻋﻟﻖ. Ayat tersebut mengungkapkan tentang penciptaan manusia. Para ulama berpendapat mengenai kejadian manusia dari kata ﻋﻟﻖ, yaitu darah beku atau segumpal darah yang merupakan keadaan janin pada hari pertama kejadiannya. Pendapat tersebut didukung pula oleh ayat-ayat lain dalam al-Quran, dan didukung pula oleh beberapa hadis Rasul.[29]
[1] Louis Ma’luf. Al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lam, cet. 38. Beirut: Dar al-Masyriq. 1986. hlm. 463.
[2] Abu al-Husain Ahmad. Mu’jam Maqayis al-Lughah, juz. 4. Beirut: Dar al-Jail. 1976. hlm. 13.
[3] M. Alfatih Suryadilaga, dkk. Metodologi Ilmu Tafsir. Yogyakarta: Teras. 2005. hlm. 55.
[4] Syaikh Abdurrahman Nashir as-Sa’di. 70 Kaidah Penafsiran Al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Firdaus. 2001. hlm. 1.
[5] Abd al-Mun’im al-Namr. ‘Ulum al-Qur’an al-Karim. Beirut: Dar Kitab al-Lubnan. 1983. hlm. 100-101.
[6] M. Alfatih Suryadilaga, dkk. Metodologi Ilmu Tafsir. Yogyakarta: Teras. 2005. hlm. 56.
[7] Penjelasan Al Quran tentang Surat Ali Imran: 7.
[8] Sayyid Muhammad Husain al-Thabaththabai. Al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, jld. 3. Libanon: Mansyurat Muassasah Al-A’lamiy li al-Mathbu’at. 1991. hlm. 38.
[9] Abd Muin Salim. Beberapa Aspek Metodologi Tafsir al-Quran. Ujung Pandang: LSKI. 1990. hlm. 67.
[10] Muhammad bin Shaleh al-‘Utsaimin. Dasar-Dasar Penafsiran Al-Quran. Semarang: Dina Utama. 1989. hlm. 80.
[11] Syaikh Musthafa al-Ghalayaini. Tarjamah Jami’ud Durusil Arabiyyah. Semarang: Asy-Syifa’. 1992. hlm. 219-220.
[12] Ibid. hlm. 277.
[13] Nor Ichwan. Memahami Bahasa Al-Qur’an Refleksi atas Persoalan Linguistik. Semarang: Pustaka Pelajar. 2002. hlm. 3.
[14] Syaikh Muhammad bin Abdullah bin Malik al-Andalusy. Tarjamah Matan Alfiyah. Jakarta: PT Al-Ma’arif. 1990. hlm. 35.
[15] Abu al-Hasan Ali bin Ahmad al-Wahidiy al-Naisabury. Asbab al-Nuzul. Beirut: Dar al-Fikr. 1988. hlm. 32.
[16] Nor Ichwan. Memahami Bahasa Al-Qur’an Refleksi atas Persoalan Linguistik. Semarang: Pustaka Pelajar. 2002. hlm. 3.
[17] Manna’ Khalil al-Qattan. Studi Ilmu-Ilmu Qur’an. Bogor: Pustaka Litera AntarNusa. 1998. hlm. 291.
[18] Nor Ichwan. Memahami Bahasa Al-Qur’an Refleksi atas Persoalan Linguistik. Semarang: Pustaka Pelajar. 2002. hlm. 77.
[20] Manna’ Khalil al-Qattan. Studi Ilmu-Ilmu Qur’an. Bogor: Pustaka Litera AntarNusa. 1998. hlm. 291-292.
[23] Jalal al-Din al-Suyuthi al-Syafi’i. Al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an, jld. 2. Beirut: Muassasah al-Kutub al-Tsaqafiyah. 1996. hlm. 41.
[24] Nor Ichwan. Memahami Bahasa Al-Qur’an Refleksi atas Persoalan Linguistik. Semarang: Pustaka Pelajar. 2002. hlm. 149.
[25] Jalal al-Din al-Suyuthi al-Syafi’i. Al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an, jld. 2. Beirut: Muassasah al-Kutub al-Tsaqafiyah. 1996. hlm. 84.
[26] Nor Ichwan. Memahami Bahasa Al-Qur’an Refleksi atas Persoalan Linguistik. Semarang: Pustaka Pelajar. 2002. hlm. 127.
[27] Jalal al-Din al-Suyuthi al-Syafi’i. Al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an, jld. 2. Beirut: Muassasah al-Kutub al-Tsaqafiyah. 1996. hlm. 97.
[28] Nor Ichwan. Memahami Bahasa Al-Qur’an Refleksi atas Persoalan Linguistik. Semarang: Pustaka Pelajar. 2002. hlm. 219.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar