Selasa, 22 Februari 2011

ALIRAN ASY 'ARIYAH


Sebagaimana halya Khawarij, Mu’tazilah, dan Syiah, aliran Asy’ariyah merupakan salah satu aliran atau paham teologi yang ikut mewarnai sejarah perkembangan agama Islam. Ia datang di tengah-tengah dinamika kehidupan umat untuk ikut ambil bagian dalam memberikan solusi atas berbagai persoalan yang dihadapi, khususnya yang berkenaan dengan permasalahan ikhtilafiyyah dalam akidah dan keyakinan.
Aliran Asy‘ariyah dinisbahkan kepada Abu al Hasan al Asy’ari. Beliau dilahirkan di Basrah pada tahun 873 Masehi (260 H) dan wafat pada tahun 935 Masehi. Beliau masih keturunan Abu Musa Al Asy’ari, seorang duta perantara dalam perseteruan pasukan Ali dan Mu’awiyah. Nama lengkap Beliau adalah Abu al Hasan Ali bin Ismail bin Ishak bin Salim bin Ismail bin Abdillah bin Musa bin Hilal bin Abi Musa al Asy’ari.
Beliau berguru pada Zakaria bin Yahya as saji (seorang ahli fiqh dan hadis) dalam meriwayatkan hadis, dan mempelajari fiqh mengikuti madzhab Syafi’i. mempelajari ilmu kalam mengikuti paham Mu’tazilah di bawah bimbingan Syech Al Jubba’i (seorang tokoh aliran Mu’tazilah yang sangat terkenal). Beliau adalah murid yang sangat cerdas dan menjadi kebanggaan gurunya sehingga seringkali mewakili gurunya untuk acara bedah ilmu dan diskusi. Dengan ilmu kemu’tazilahannya, Beliau gencar menyebarluaskan paham Mu’tazilah dengan karya-karya tulisnya. Diantara karya-karya Beliau yang terkenal adalah Al Ibanah fi Ushuli ad Dinayah, Al Luma’ fi Raddi ‘ala Ahli az ‘Zaighi wa al Bida’, Istihsan al Khaudhi fi ‘Ilmi al Kalami, dan Maqolatu al Islamiyyin wa Ikhtilafu al Mushollin.
Walaupun sudah menganut paham Mu’tazilah selama 40 tahun, tetapi Beliau merasa tidak sepaham dengan gurunya dan tidakpuas terhadap aliran Mu’tazilah, maka Beliau membentuk aliran baru yang dikenal dengan namanya sendiri pada tahun 300 hijriyah. Ketidakpuasan Al Asy’ari terhadap aliran Mu’tazilah diantaranya adalah adanya keragu-raguan dalam diri Al Asy’ari terhadap paham Mu’tazilah. Keragu-raguan ini disebabkan Beliau menganut madzhab Syafi’I yang mempunyai pendapat berbeda dengan aliran Mu’tazilah. Misalnya madzhab Syafi’I berpendapat bahwa Al Quran itu bersifat qadim dan bahwa Tuhan dapat dilihat di akhirat nanti. Sedangkan menurut paham Mu’tazilah bahwa Al Quran itu bukan qadim, tetapi hadis dalam arti baru dan Tuhan bersifat rohani, jadi tidak dapat dilihat dengan mata.
Aliran Asy’ariyah muncul sebagai aliran ketika aliran Mu’tazilah mencapai kejayaannya, yaitu pada saat Daulah Abasiyah berada di bawah pemerintahan khalifah Al Ma’mun, Al Mu’tashim, dan Al Watsiq (813 M – 847 M). Aliran Asy‘ariyah juga sering dikatakan sebagai aliran ahlu sunnah wal jama’ah. Disebut sebagai aliran ahlu sunnah wal jama’ah karena Abu Al Hasan Al Asy’ari berani untuk membentuk aliran teologi baru dan mengembalikan ajaran Islam pada apa yang terkandung dalam sunnah. Abu Al Hasan Al Asy’ari mengatakan bahwa sandaran otoritas pendapat dan keyakinan teologi yang dianutnya adalah berpegang teguh pada Al Quran, sunnah Rasulullah saw, atsar sahabat, perkataan tabi’in, pembela hadis, dan terhadap apa yang dikatakan oleh Ahmad Ibn Hanbal. Akan tetapi, meskipun Al Asy’ari mendasarkan teologinya pada Ahmad Ibn Hanbal, Beliau dalam bidang fiqh tetap berpegang pada madzhab Syafi’i.
Aliran Asy‘ariyah menyatakan bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat dan Tuhan mengetahui bukan dengan dzat-Nya tetapi mengetahui dengan pengetahuan-Nya. Aliran Asy‘ariyah beranggapan bahwa Al Quran adalah kalam Tuhan yang tidak diciptakan, tetapi bersifat qadim. Asy‘ariyah juga berkeyakinan bahwa manusia dapat melihat Allah pada hari kiamat dengan petunjuk Tuhan dan hanya Allah pula yang tahu bagaimana keadaan sifat dan wujud-Nya. Hal ini mengingat nash Al Quran pada QS Al Qiyamah: 23
“Wajah-wajah orang mukmin pada hari kiamat akan berseri-seri. Kepada Tuhannya mereka melihat.
Tentang fungsi akal, aliran Asy‘ariyah mengatakan bahwa akal tidak mampu untuk mengetahui kewajiban-kewajiban manusia untuk berterima kasih kepada Tuhan. Tentang janji dan ancaman Tuhan, Al Asy‘ariyah berkeyakinan bahwa Allah bisa saja menyiksa orang yang taat dan memberi pahala kepada orang yang durhaka.
Secara substantif aliran Asy‘ariyah meliputi tiga aspek Islam, yakni aspek akidah, fiqh, dan akhlak. Aspek pertama yaitu akidah. Akidah merupakan aspek yang paling krusial, karena pada saat Mu’tazilah dijadikan sebagai paham keagamaan resmi pemerintah oleh penguasa Abbasiyah, di mana telah terjadi kasus mihnah (inquisition) yang cukup menimbulkan keresahan umat Islam. Imam al-Asy’ari saat itu telah tampil untuk mengoreksi kebijakan pemerintah tadi dan sekaligus mengkonter teologi Mu’tazilah, yang dalam beberapa hal dianggap bid’ah atau menyimpang. Pemikiran-pemikiran teologi Islam yang disampaikan Imam al-Asy’ari ternyata diterima secara positif oleh masyarakat Islam, sehingga kemudian terbentuk kelompok Asy‘ariyah (pengikut al-Asy’ari). Cikal bakal ini akhirnya terinstitusi dalam bentuk mazhab al-Asy’ari.
Aspek kedua adalah syariah atau fikih, yakni paham keagamaan yang berhubungan dengan ibadah dan muamalah. Yang dimaksud dengan ibadah adalah tuntutan formal yang berhubungan dengan tata cara seorang hamba berhadapan dengan Tuhan, seperti shalat, zakat, haji, dan sebagainya. Adapun yang dimaksud dengan muamalah adalah bentuk ibadah yang bersifat sosial, menyangkut hubungan manusia dengan sesama manusia secara horisontal, misalnya dalam hal jual beli, pidana perdata, sosial politik, dan sebagainya. Yang pertama disebut habl min Allah (hubungan manusia dengan Allah), dan yang kedua disebut habl min al-nas (hubungan manusia dengan manusia). Para ulama telah sepakat bahwa aspek syariah Ahlussunnah wal Jamaah bersumber dari salah satu dari empat mazhab besar, yakni Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali. Dan Imam Asy’ari sendiri sebagai pelopor Ahlussunnah wal Jamaah adalah penganut mazhab Imam Syafi’i.
Aspek ketiga adalah akhlak atau tashawuf, yang dalam banyak hal difokuskan kepada wacana akhlak Imam al-Ghazali, Yazid al-Bustami, dan Junaid al-Baghdadi, serta ulama-ulama sufi yang sepaham. Aspek ketiga ini dinilai penting, karena mencerminkan faktor ihsan dalam diri seseorang. Iman menggambarkan keyakinan, sedangkan Islam menggambarkan syariah, dan ihsan menggambarkan kesempurnaan Iman dan Islam dalam diri seseorang. Iman itu ibarat akar, Islam ibarat pohon, dan ihsan ibarat buah yang dihasilkan oleh sebuah pohon. Artinya, manusia sempurna adalah manusia yang di samping bermanfaat untuk dirinya karena dia sendiri kuat, juga memberi manfaat kepada yang lain (ini sering disebut dengan three principles of human life). Jadi, aspek ini juga terkait dengan aspek yang kedua, sehingga keberadaannya sama pentingnya dengan keberadaan aspek yang pertama dan kedua untuk membentuk manusia menjadi insan kamil atau the perfect man.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar